Persatuan
dalam Melawan Penindasan
Penulis : Pramoedya Anata Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tahun Terbit : 2013
Cetakan : Juni 2006
Tebal : 128 hlm;
13 x 20 cm
Nomor
ISBN : 979-97312-15-6
Cerita
dalam novel ini penulis terinspirasi dengan kehidupan Banten Selatan pada tahun
1957. Pramoedya Anata Toer dalam kata pengantar di novel ini mengungkapkan
bahwa cerita ini ditulis berdasarkan hasil wawancara terhadap penduduk di
sekitar Banten Selatan walaupun kenyataan nya terdapat sedikit tambahan
pengembangan cerita, namun ide dalam kisah dalam novel ini berasal dari
kunjungan singkat Penulis dengan melakukan wawancara.
Isi dari
Novel ini menggambarkan sebuah Desa yang tanah nya subur namun penduduknya
tidak sejahtera. Tanahnya yang subur tapi penduduknya miskin, kerdil, tidak
berdaya, dan lumpuh daya kerjanya. Kondisi daerah Banten Selatan sebenarnya
kaya akan sumber daya alam, namun belum tergarap secara maksimal dan terabaikan
oleh pembangunan. Penduduk setempat terpaksa harus menyerahkan segala sumber
daya yang mereka miliki agar mampu bertahan terhadap tantangan masa depan.
Tokoh
utama dalam Novel ini adalah Ranta. Ranta merupakan seorang buruh. Lewat Tokoh
yang ditulis oleh penulis ini. Penulis ingin mencurahkan gagasan dan
semangatnya untuk melawan sebuah penindasan. Ranta yang memiliki sikap pemberontak
atas penindasan yang dia rasakan membuat dendam melawan DI dengan cara
menyakinkan penduduk setempat untuk bersatu melawan sebuah kejahatan.
Kover
dalam Novel ini di desain konsepnya ada kaitanya dengan isi cerita. Tergambar
sosok lelaki kurus yang memakai penutup kepala berwarna merah bisa di analisis
bahwa orang yang tergambar dari novel itulah peran utama yaitu Ranta. Isi dalam
novel ini pula terdapat penggambaran sosok Ratna yaitu Seorang berumur 39 tahun
tubuhnya tinggi, penuh otot-otot kasar yang menandakan bahwa ia banyak berkerja
keras tetapi kurang mendapatkan makan yang baik karena terlihat kurus.
Tergambar juga beberapa Orang sedang berkerja di sawah di dalam isi novel ini
pembaca juga di ajak merasakan kisah kehidupan pendudukan pada tahun 1957.
Kisah
awal dalam novel ini menggambarkan suasana alam di sebuah Desa. Desa yang subur
akan berbagai tanaman yang bisa di komsumsi penduduk itu namun karena
penindasan penduduknya tak bisa mencicipi keseluruhan hasil kesuburan tanahnya.
Tokoh utama yaitu Ratna hidup dalam jerat kemiskinan. Seorang buruh miskin .
Kekurangan gizi karena arsupan makan nya yang tidak baik. Istrinya bernama
Ireng yang sering sekali meneluh atas kemiskinan dan kekacauan keamanan akibat
perang.
Musa
merupakan tokoh Antagonis yang di gambarkan penulis. Seorang juragan yang
makmur dan selalu berpakaian rapi. Ia berpakaian jas tutup cokelat, bersarung
pelikat, dan berpeci tinggi hitam berkembang sutera. Ia berumur kurang lebih
empat puluh tahun. Konflik dalam novel ini muncul berawal dari kedatangan Musa
menemui Ratna. Kedatangan Musa itu karena ingin memeritah lelaki miskin yaitu
Ranta untuk mencuri sebuah bibit karet untuknya. Dengan memberikan upah berupa
uang sebagai imbalan awal. Ranta yang mengalami perekonomian sangat kurang
menjalankan tugas Musa meskipun upah tersebut tidak sepadan dengan resiko
pekerjaanya. Ranta memberikan upah pertamanya kepada istrinya.
Juragan
Musa merupakan seorang yang suka memperbudak rakyat kecil. Juragan Musa
merupakan musuh dalam selimut di daerah Banten Selatan ia merupakan anggota DI
yaitu Daarul Islam. Gerombolan Di selalu memaksa rakyat untuk memperbudak,
mengobrak-abrik pasar, bahkan merampas, menyiksa, dan lebih kejamnya membunuh.
Penduduk Baten Selatan heran kepada Juragan yang tak pernah sekalipun diusili
DI. Padahal Musa merupakan tuan tanah kaya.
Ranta
yang sudah menjalankan tugas dari Musa yaitu Mencuri bibit karet tak
mendapatkan upah tambahan, namun tetap merampas hasil curian Ranta. Upah
tambahan tak diberikan hanya sebuah siksaan yang diterima lalu mengusir Ranta
begitu saja dengan ancaman akan melaporkan Ranta.
Pramoedya
Anata Toer menulis novel ini dengan mengajak pembaca terbawa pada kisah Bnten
Selatan dimana masa itu penindasan yang dilakukan oleh orang yang lemah. Tokoh
Ranta merupakan tokoh yang dia ceritakan sebagai sosok mengubah keadaan
tersebut. Desa yang subur namun rakyat nya sengsara akan penindasan membuat
Ranta bosan menerima penindasan yang dia terima dan dia tak ingin lagi berputus
asa.
Suatu
hari ketika Musa datang lagi Ranta tidak bisa menahan amarahnya. Musa ketakutan
dan melarikan diri. Karena ketakutanya Ia lalai dan meninggalkan sebuah Tas dan
Tongkat. Inilah awal terbongkarnya kejahatan Musa.
Tak
hanya itu terbongkarnya kejahatan Musa terbongkar saat bertengkar dengan
Istrinya dalam pertengkaran itulah terdengar bahwa Musa mengaku sebagai seorang
pertinggi DI. Istrinya tambahmarah karena orang tuanya adalah korban DI.
Komandan Baten Selatan yang mendengar pengakuan Musa langsung muncul di hadapan
nya. Musa yang membantah atas pengakuan nya sebagai anggota DI tak membuat
Komandan Baten Selatan percaya. Karena bukti-bukti tas yang berisi surat-surat
penting dalam tasnya.
Ranta
yang membawa bukti-bukti surat itu terancam keselamatan nya. Upaya pembangkaran
rumah nya sudah terlaksana atas perintah Musa namun Ranta tidak berada di Rumah
hal itu di di ketahui Komandan Banten Selatan. Banyaknya bukti-bukti tersebut
membuat juragan Musa menjadi tahanan Komandan. Semua itu berkat laporan dari
Ranta, Ireng, dan Radjali ( bawahan juragan Musa) yang ternyata ada di pihak
Ranta Komandan.
Hal
tersebut membuat segerombolan Darul Islam (DI) Sudah kembali untuk membalas
dendam. Sebelum segerombolan menyerbu,
Ranta memiliki sebuah strategi dengan menyatukan seluruh masyarakat
Banten Selatan untuk membantu komandan dan pasukannya dalam melawan DI. Ranta
juga membuat suatu jebakan dan senjata dari barang apapun yang digunakan
seperti bambu.
Rencana menyatukan
Rakyat berhasil dan pada akhirnya kemenangan yang di dapat dalam pertarungan
melawan DI. Karena kejadian itu mereka hidup membaik di tanah kesuburanya
mereka bisa menikmatinya.
Novel
ini beralur maju karena penulis menyajikan kisah ini dengan menggambarkan
kengsesaraan rakyat, persatuan rakyat lalu kemenangan rakyat, dan novel ini
mengisahkan yang tertahap awal yaitu pengenalan, pemunculan masalah, menuju
Konflik lalu penyelesaian. Sebuah kisah yang berujung Happy Ending hal ini membuat
pembaca atau penikmat merasa lega atas kisah tragis yang berujung sebuah
kebahagiaan. Isi dalam kisah ini berkisah sejarah penjajahan sebelum Indonesia
Merdeka.
Penulis
Pramoedya Ananta Toer lahir pada 1925 di Blora, Jawa tengah, Indonesia. Dimasa
hidupnya dia pernah mengalami kehidupan 3 tahun di penjara pada zaman
penjajahan lewat tulis-tulisanya dia ingin menyampaikan sebuah pesan bahwa
persatuan lah yang mengalahkan sebuah penindasan yang kerap kari di alami oleh
masyarakat Indonesia.
Kisah
dalam novel ini hanya tertuju dari satu permasalahan. Novel ini terdapat amanat
penulis yang menggugah hati pembaca salah satu amanat nya adalah menjujung
tinggi sebuah kebenaran dan persatuan. Maka dari itu menurut saya pribadi Novel
ini sangat cocok di baca anak zaman Now karena belakangan ini terjadi pengeroyokan
suporter Persija yang membuat hati miris karena pertandingan antar daerah
membuat persatuan kita akan memudar. Ingatlah bahwa kita menjujung tinggi
persatuan dan kesatuan. Kisah pertempuran yang menumpahkan darah dahulu kalah
sudah mempersatukan untuk melawan penindasan apa karena demi pertandingan itu kita
tak ingat masa-masa lampau dahulu. Novel ini sangat berguna untuk menumbuhkan
rasa nasionalisme bangsa.
(Okta Viyani Ningsih, mahasiswa Universitas PGRI Semarang
Semester 7)