Kamis, 11 Oktober 2018

Resensi


Persatuan dalam Melawan Penindasan

               
Judul                :  Sekali Peristiwa di Banten Selatan
Penulis             :  Pramoedya Anata Toer
Penerbit           :  Lentera Dipantara
Tahun Terbit    :  2013
Cetakan           :  Juni 2006
Tebal               :  128  hlm; 13 x 20 cm
 Nomor ISBN    :  979-97312-15-6
            Cerita dalam novel ini penulis terinspirasi dengan kehidupan Banten Selatan pada tahun 1957. Pramoedya Anata Toer dalam kata pengantar di novel ini mengungkapkan bahwa cerita ini ditulis berdasarkan hasil wawancara terhadap penduduk di sekitar Banten Selatan walaupun kenyataan nya terdapat sedikit tambahan pengembangan cerita, namun ide dalam kisah dalam novel ini berasal dari kunjungan singkat Penulis dengan melakukan wawancara.
            Isi dari Novel ini menggambarkan sebuah Desa yang tanah nya subur namun penduduknya tidak sejahtera. Tanahnya yang subur tapi penduduknya miskin, kerdil, tidak berdaya, dan lumpuh daya kerjanya. Kondisi daerah Banten Selatan sebenarnya kaya akan sumber daya alam, namun belum tergarap secara maksimal dan terabaikan oleh pembangunan. Penduduk setempat terpaksa harus menyerahkan segala sumber daya yang mereka miliki agar mampu bertahan terhadap tantangan masa depan.
            Tokoh utama dalam Novel ini adalah Ranta. Ranta merupakan seorang buruh. Lewat Tokoh yang ditulis oleh penulis ini. Penulis ingin mencurahkan gagasan dan semangatnya untuk melawan sebuah penindasan. Ranta yang memiliki sikap pemberontak atas penindasan yang dia rasakan membuat dendam melawan DI dengan cara menyakinkan penduduk setempat untuk bersatu melawan sebuah kejahatan.
            Kover dalam Novel ini di desain konsepnya ada kaitanya dengan isi cerita. Tergambar sosok lelaki kurus yang memakai penutup kepala berwarna merah bisa di analisis bahwa orang yang tergambar dari novel itulah peran utama yaitu Ranta. Isi dalam novel ini pula terdapat penggambaran sosok Ratna yaitu Seorang berumur 39 tahun tubuhnya tinggi, penuh otot-otot kasar yang menandakan bahwa ia banyak berkerja keras tetapi kurang mendapatkan makan yang baik karena terlihat kurus. Tergambar juga beberapa Orang sedang berkerja di sawah di dalam isi novel ini pembaca juga di ajak merasakan kisah kehidupan pendudukan pada tahun 1957.
            Kisah awal dalam novel ini menggambarkan suasana alam di sebuah Desa. Desa yang subur akan berbagai tanaman yang bisa di komsumsi penduduk itu namun karena penindasan penduduknya tak bisa mencicipi keseluruhan hasil kesuburan tanahnya. Tokoh utama yaitu Ratna hidup dalam jerat kemiskinan. Seorang buruh miskin . Kekurangan gizi karena arsupan makan nya yang tidak baik. Istrinya bernama Ireng yang sering sekali meneluh atas kemiskinan dan kekacauan keamanan akibat perang.
            Musa merupakan tokoh Antagonis yang di gambarkan penulis. Seorang juragan yang makmur dan selalu berpakaian rapi. Ia berpakaian jas tutup cokelat, bersarung pelikat, dan berpeci tinggi hitam berkembang sutera. Ia berumur kurang lebih empat puluh tahun. Konflik dalam novel ini muncul berawal dari kedatangan Musa menemui Ratna. Kedatangan Musa itu karena ingin memeritah lelaki miskin yaitu Ranta untuk mencuri sebuah bibit karet untuknya. Dengan memberikan upah berupa uang sebagai imbalan awal. Ranta yang mengalami perekonomian sangat kurang menjalankan tugas Musa meskipun upah tersebut tidak sepadan dengan resiko pekerjaanya. Ranta memberikan upah pertamanya kepada istrinya.
            Juragan Musa merupakan seorang yang suka memperbudak rakyat kecil. Juragan Musa merupakan musuh dalam selimut di daerah Banten Selatan ia merupakan anggota DI yaitu Daarul Islam. Gerombolan Di selalu memaksa rakyat untuk memperbudak, mengobrak-abrik pasar, bahkan merampas, menyiksa, dan lebih kejamnya membunuh. Penduduk Baten Selatan heran kepada Juragan yang tak pernah sekalipun diusili DI. Padahal Musa merupakan tuan tanah kaya.
            Ranta yang sudah menjalankan tugas dari Musa yaitu Mencuri bibit karet tak mendapatkan upah tambahan, namun tetap merampas hasil curian Ranta. Upah tambahan tak diberikan hanya sebuah siksaan yang diterima lalu mengusir Ranta begitu saja dengan ancaman akan melaporkan Ranta.
            Pramoedya Anata Toer menulis novel ini dengan mengajak pembaca terbawa pada kisah Bnten Selatan dimana masa itu penindasan yang dilakukan oleh orang yang lemah. Tokoh Ranta merupakan tokoh yang dia ceritakan sebagai sosok mengubah keadaan tersebut. Desa yang subur namun rakyat nya sengsara akan penindasan membuat Ranta bosan menerima penindasan yang dia terima dan dia tak ingin lagi berputus asa.
            Suatu hari ketika Musa datang lagi Ranta tidak bisa menahan amarahnya. Musa ketakutan dan melarikan diri. Karena ketakutanya Ia lalai dan meninggalkan sebuah Tas dan Tongkat. Inilah awal terbongkarnya kejahatan Musa.
            Tak hanya itu terbongkarnya kejahatan Musa terbongkar saat bertengkar dengan Istrinya dalam pertengkaran itulah terdengar bahwa Musa mengaku sebagai seorang pertinggi DI. Istrinya tambahmarah karena orang tuanya adalah korban DI. Komandan Baten Selatan yang mendengar pengakuan Musa langsung muncul di hadapan nya. Musa yang membantah atas pengakuan nya sebagai anggota DI tak membuat Komandan Baten Selatan percaya. Karena bukti-bukti tas yang berisi surat-surat penting dalam tasnya.
            Ranta yang membawa bukti-bukti surat itu terancam keselamatan nya. Upaya pembangkaran rumah nya sudah terlaksana atas perintah Musa namun Ranta tidak berada di Rumah hal itu di di ketahui Komandan Banten Selatan. Banyaknya bukti-bukti tersebut membuat juragan Musa menjadi tahanan Komandan. Semua itu berkat laporan dari Ranta, Ireng, dan Radjali ( bawahan juragan Musa) yang ternyata ada di pihak Ranta Komandan.
            Hal tersebut membuat segerombolan Darul Islam (DI) Sudah kembali untuk membalas dendam. Sebelum segerombolan menyerbu,  Ranta memiliki sebuah strategi dengan menyatukan seluruh masyarakat Banten Selatan untuk membantu komandan dan pasukannya dalam melawan DI. Ranta juga membuat suatu jebakan dan senjata dari barang apapun yang digunakan seperti bambu.
            Rencana menyatukan Rakyat berhasil dan pada akhirnya kemenangan yang di dapat dalam pertarungan melawan DI. Karena kejadian itu mereka hidup membaik di tanah kesuburanya mereka bisa menikmatinya.
            Novel ini beralur maju karena penulis menyajikan kisah ini dengan menggambarkan kengsesaraan rakyat, persatuan rakyat lalu kemenangan rakyat, dan novel ini mengisahkan yang tertahap awal yaitu pengenalan, pemunculan masalah, menuju Konflik lalu penyelesaian. Sebuah kisah yang berujung Happy Ending  hal ini membuat pembaca atau penikmat merasa lega atas kisah tragis yang berujung sebuah kebahagiaan. Isi dalam kisah ini berkisah sejarah penjajahan sebelum Indonesia Merdeka.
            Penulis Pramoedya Ananta Toer lahir pada 1925 di Blora, Jawa tengah, Indonesia. Dimasa hidupnya dia pernah mengalami kehidupan 3 tahun di penjara pada zaman penjajahan lewat tulis-tulisanya dia ingin menyampaikan sebuah pesan bahwa persatuan lah yang mengalahkan sebuah penindasan yang kerap kari di alami oleh masyarakat Indonesia.
            Kisah dalam novel ini hanya tertuju dari satu permasalahan. Novel ini terdapat amanat penulis yang menggugah hati pembaca salah satu amanat nya adalah menjujung tinggi sebuah kebenaran dan persatuan. Maka dari itu menurut saya pribadi Novel ini sangat cocok di baca anak zaman Now  karena belakangan ini terjadi pengeroyokan suporter Persija yang membuat hati miris karena pertandingan antar daerah membuat persatuan kita akan memudar. Ingatlah bahwa kita menjujung tinggi persatuan dan kesatuan. Kisah pertempuran yang menumpahkan darah dahulu kalah sudah mempersatukan untuk melawan penindasan apa karena demi pertandingan itu kita tak ingat masa-masa lampau dahulu. Novel ini sangat berguna untuk menumbuhkan rasa nasionalisme bangsa.
(Okta Viyani Ningsih, mahasiswa Universitas PGRI Semarang Semester 7)
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar